Berbicara
tentang pendidikan sama dengan kita berbicara tentang kebutuhan manusia yang
paling natural. Kebutuhan manusia terhadap pendidikan semakin pentingseiringan
dengan berkembangnya kebutuhan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Namun
kenyataannya, kualitas pendidikan kita selalu tertinggal dari berbagai
perkembangan kebutuhan-kebutuhan manusia yang semakin komprehensif. Sehingga,
tidak jarang ditemukan alumnus-alumnus pendidikan yang pengangguran, atau
bahkan sarjana-sarjana kelayapan yang kompetensinya jauh dari standar yang
diinginkan dunia pekerjaan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, mari
kita sejenak mengenali asal masalah tersebut. Karena untuk mencari solusi harus
dimulai dengan pengenalan/ identifikasi masalah. Yuk mari kita analisa masalah
pendidikan kita.
Isu
pertama adalah kekerasan dan kemiskinan masih rame. Indonesia telah merdeka
lebih dari 60 tahun lamanya, tapi liputan-liputan kekerasan dan premanisme
masih sering terjadi negeri ini. Bahkan pihak berwenang sendiri tidak punya
nyali untuk menuntaskannya. Begitu juga dengan kemiskinan tampaknya
berkontribusi bagi terjadinya peningkatan kasus-kasus tindak kekerasan. Seperti
Pencurian, Pelacuran, dan lain sebagainya. Kemiskinan juga telah menyebabkan
bakat emas yang dimiliki rakyat terkubur karena tidak sanggup memenuhi biaya
pendidikan yang selangit. Karena, empati para praktisi pendidikan terhadap
masyarakat miskin telah semakin rendah dan bahkan hampir hilang. Sehingga
pendidikan yang bagus hanya diproyeksikan bagi mereka yang memiliki modal atau
tabungan. Padahal, tidak sedikit para ilmuwan yang lahir dari keluarga miskin
yang berasal dari rakyat pedesaan. Oleh karena itu, semestinya setiap personil
pendidikan harus berbuat dengan hati yang senang dan ikhlas dalam menjalankan
profesinya, sebelum ia menuntut berbagai haknya.
Isu
kedua adalah keragaman dan Potensi perpecahan. Kita tidak dapat pungkiri
bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika belum menyentuh sisi kehidupan kita.
Persoalan etnis, organisasi, suku, dankeluarga masih saja memunculkan
serangkaian konflik internal dalam dunia pendidikan khususnya. Seperti maraknya
kasus nepotisme pejabat atau guru yang menjadikan kampus milik
keluarga.Misalnya, penulis pernah dengar bahwa suatu konflik yang terjadi di
dalam sebuah keluarga telah mendorong lahirnya suatu lembaga pendidikan yang
baru. Yang kemudian lembaga pendidikan tersebut dijadikan lahan bisnis dan
simbol ketenaran bagi pemiliknya. Sehingga pelayanannya sering bersifat tidak
adil dan diskriminatif.
Isu
ketiga adalah kegagalan pendidikan dalam menciptakan moralitas anak
bangsa. Pendidikan nasional kita dalam berbagai jenis dan jenjang,
tampaknya “gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki budi pekerti yang
baik. Harus diakui bahwa rendahnya moralitas sebahagian para pengelola negara,
politikus, pengusaha, bahkan mahasiswa adalah merupakan produk dari sistem
pendidikan nasional yang gagal menghantarkan outputnya dalam memahami
dan mengamalkan nilai-nilai moralitas dalam kehidupannya.
Salah
satu aspek moral yang semakin terkikis di negara kita ini adalah sifat
kejujuran. Padahal, sifat kejujuran adalah modal utama dalam kehidupan.
Sebaliknya, perbuatan dusta adalah pangkal dari berbagai maksiat yang lain.
Seperti; korupsi, penipuan, dan pencurian.
Keberhasilan
pendidikan kejujuran sangat ditentukan oleh dukungan dari seluruh personil
pendidikan, keluarga dan masyarakat, disamping juga dibutuhkan suatu strategi
khusus. Salah satu strategi pendidikan yang dapat dilakukan untuk mencegah anak
dari perbuatan dusta dapat dilakukan dengan: 1) memberikan pemahaman yang baik
kepada anak perihal urgensi sifat jujur dan bahaya dusta, 2) memberikan
teladan, 3) menjalin hubungan yang terbuka dengan anak, 4) tidak memberikan
hukuman yang berlebihan, dan 5) menyediakan kondisi sosial yang baik dan sarana
yang dapat merangsang tumbuhnya sikap jujur anak, seperti membuat kotak
kejujuran untuk tempat barang temuan dan membangun kantin-kantin kejujuran.
Isu
yang keempat adalah Kuantitas versus kualitas. Sejak Indonesia merdeka, kita
telah memiliki tekad yang kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara
menyeluruh. Namun sayangnya tekad ini diterjemahkan dengan mendirikan lembaga
pendidikan sebanyak-banyaknya dan kurang mengoptimalkan pencapaian standar
proses pendidikan dilembaga-lembaga pendidikan tersebut.
Pembangunan
lembaga pendidikan yang belum merata juga telah berimplikasi terhadap rendahnya
kepercayaan masyarakat kepada suatu lembaga pendidikan. Bahkan ironisnya,
sebahagian masyarakat telah mengklaim bahwa sebagaian lembaga pendidikan yang
ada di daerah-daerah hanya justru melaksanakan proses pembodohan terhadap
peserta didiknya.
No comments:
Post a Comment