Halaman

Sunday 12 May 2013

SISTEM PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI


Civitas akademika Perguruan Tinggi disebut sebagai kalangan elit cendikiawan adalah disebabkan perannya sebagai agen pengembang dan pemberdaya masyarakat. Sebagai agan pengembang dan pemberdaya masyarakat setidaknya mereka harus menguasai dua sayap: Pertama, ilmu keahlian yang dapat menjadikannya sebagai konselor ataupun tempat bertanya masyarakat dalam suatu bidang disiplin ilmu. Kedua, karakter yang dapat membuatnya disukai, dipercaya dan dihargai oleh  masyarakatnya. Artinya perhatian terhadap dua hal ini harus tetap menjadi perhatian dan proritas penting oleh setiap Pergururuan Tinggi.
Fase imitatif (meniru) tidaklah hanya terjadi pada tahap perkembangan balita saja. Melainkan kalangan mahasiswa, guru, dosen, dan bahkan calon Doktor di era modern ini telah ditemukan melakukan plagiasi karya ilmiah, bahkan ironisnya beberapa hari ini telah tertangkap kasus penciplakan ribuan ijazah palsu di Jawa Timur yang menurut terdakwa sebagian besar konsumennya adalah pendidik generasi masa depan bangsa Indonesia.
Sementara mahasiswa pada peringatan hari-hari besar juga sudah terkenal dengan dengan kegiatan demonya yang sering berakhir anarki, alias menyampaikan pendapat dengan kesan memaksa. Apakah ini adalah karakter rakyat kita ? (tentu tidak!) atau apakah kampus mengajarkan hal tersebut? (mungkin saja!). Untuk menjawab hal pertanyaan kedua ini mari kita diskusikan tentang sistem pendidikan karakter di Perguruan Tinggi.
Sistem pendidikan karakter di Perguruan Tinggi setidaknya dapat ditinjau pada 3 aspek, yaitu: sistem pengajaran di kelas, pelayanan akademik, dan pemberdayaan organisasi mahasiswa intra kampus.
Sistem pengajaran yang menjadi ciri khas Perguruan Tinggi adalah seminar kelas dan kerja kelompok. Penanaman pendidikan karakter pada proses pembelajaran dapat dilakukan dengan pemberian keteladanan dan pembiasaan. Misalnya: Ketika berdiskusi, mahasiswa dan dosen tidak boleh memberikan klaim bahwa pendapatnya yang paling benar dan pendapat orang lain salah. Dalam menanggapi pernyataan seseorang maka haruslah memperhatikan latar belakang dan pola pikir orang yang ditanggapinya. Sementara ketika terjadi perbedaan pendapat maka dahulukanlah etika dan carilah jalan keluar melalui titik persamaan. sikap disiplin, keterbukaan, kejelasan peraturan perkuliahan dan budaya ilmiah juga harus dijadikan sebagai proritas pendidikan karakter.
Dalam aspek pelayanan akademik maka budaya karakter harus dijadikan sebagai indikator peningkatan mutu pelayanan akademik. Karakter yang dapat dikembangkan dalam aspek pelayanan akademik adalah: karakter kesantunan, kejelasan, ketepatan, dan keterbukaan dalam memberikan pelayanan.
Organisasi mahasiswa intra kampus dijadikan sebagai wadah pendidikan dan pelatihan kepemimpinan dan manajemen administrasi administrasi. Sistem pelaksanaan pendidikan karaker pada organisasi dapat dimulai dari pembelajaran sistem administrasi yang baik, penanaman jiwa kepemimpinan dan tim kerja. Untuk mengefektifkan dan mengoptimalisasi pembelajaran administrasi dan kepemimpinan organisasi mahasiswa maka peran pihak kampus sebagai auditor mutu administrasi dan pelayanan organisasi mahasiswa menjadi sangat penting, bila perlu dibentuk suatu unit khusus yang bertugas sebagai pembimbing, mediator dan auditor organisasi mahasiswa intra kampus secara kontiniu dan konsisten, dan bukan cuma pada upgrading dan rapat tahunan saja.
Penanaman nilai-nilai karakter pada tiga kawasan tersebut harus didukung oleh penegakan peraturan yang aplikatif disamping pemberian suri tauladan dan jalinan komunikasi yang baik antara seluruh civitas akademika.

Guru Harus Bebas TBC (Tidak Bisa Computer)


Komputer pada dasarnya adalah suatu alat elektronik yang dapat mengolah data dan menyajikannya dengan menggunakan program tertentu sehingga dapat menghasilkan informasi. Dalam hal ini, komputer memiliki kemampuan-kemampuan khusus yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama sebagai salah satu alat untuk membuat media pembelajaran dan menyajikan materi pembelajaran di sekolah dengan tampilan yang  menarik.

Setidaknya ada beberapa kemampuan yang di miliki komputer sebagai media pembelajaran matematika, yaitu:

a.    Komputer dapat menyimpan sejumlah besar data dan informasi, misalnya data siswa, data nilai, data personalia, data keuangan, data sarana dan prasarana, semua data tersebut dapat disimpan dalam hard disk sesuai kemampuan hard disk masing-masing komputer.

b.    Komputer dapat melakukan prosedur-prosedur pengerjaan yang kompleks yang diperlukan dalam program komputer yang kemudian memberikan informasi  dan instruksi yang dihasilkan oleh komputer, misalnya: perhitungan konstruksi gedung, data siswa dan lain-lain.

c.    Komputer dapat bekerja sangat cepat, misalnya untuk menyusun nilai ranking, menemukan standar deviasi nilai, dan nilai rata-rata siswa, dengan memasukkan data nilai siswa, maka komputer sudah dapat secara otomatis menyusun sendiri ranking yang dibutuhkan tanpa harus menyusun satu persatu  urutan datanya. Hal ini dapat dilakukan program seperti Microsoft Excel dan SPSS.

Pentingnya penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran di kelas juga telah dimotivasi Allah di dalam surah al-Alaq ayat 4:

الَّØ°ِÙŠ عَÙ„َّÙ…َ بِالْÙ‚َÙ„َÙ…ِ (Ù¤)

Artinya:

"Allah yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam."

Menurut penafsiran Abuddin Nata, makna ­al-qalam pada ayat di atas adalah mewakili makna-makna yang berkaitan dengan alat penyimpan, perekam dan sebagainya. Seperti: alat pemotret berupa kamera, alat perekam berupa recording, alat penyimpan data berupa komputer, mikro film, video compact disc (VCD), dan lain sebaginya.[1] Oleh karena itu, maka penyandingan kata qalam dengan kata 'allama (berarti pembelajaran) pada ayat tersebut adalah menunjukkan bahwa penerapan media pembelajaran, khususnya teknologi pembelajaran adalah sangat berpengaruh pada cara belajar dan hasil belajar siswa.

Namun sayangnya, pengaruh penggunaan media pada proses pembelajaran masih dinikmati oleh negara-negara maju. Seperti di Australia, komputer telah digunakan sebagai media pembelajaran di kelas untuk mengajarkan mata pelajaran pengenalan komputer, menggambar melalui komputer, menulis/ mengarang, mencari informasi melalui komputer (internet) dan lain sebagainya. Sementara di Jepang, media pembelajaran berbasis komputer digunakan pada pembelajaran Matematika dan IPA.[2] Adapun di Amerika Serikat, tahun 1998 rata-rata di setiap Sekolah Dasar sudah tersedia 69 komputer yang digunakan sebagai media pembelajaran dan tiap tahunnya meningkat 15%.[3]

Pada masa dewasa ini, guru tidak boleh lagi didefenisikan sebagai pengajar, melainkan guru adalah pembimbing, pelayan dan pencipta suasana belajar yang baik bagi siswanya. Hal ini tentunya menuntut guru agar mampu menciptakan berbagai benda yang disekitar siswa menjadi media dan sumber belajar.

Melihat perkembangan komputer pada era sekarang ini telah semakin canggih, maka guru pun mau tidak mau harus mampu menggunakan komputer tersebut untuk kepentingan pembelajaran. Sebab pembelajaran dengan menggunakan bantuan perangkat komputer akan dapat menciptakann suasana belajar yang menyenangkan. Dan ketika siswa sudah menikmati proses belajarnya maka pikiran kreatifnya pun akan tumbuh dan menciptakan sebuah penemuan-penemuan baru. Sebaliknya, apabila siswa dari awalnya sudah memberikan penilaian yang buruk pada materi pelajaran seperti matematika maka 70% dia tidak akan berhasil dalam proses pembelajaran selanjutnya.

Setelah guru menguasai komputer, guru juga harus memikirkan dan mengembangkan bagaimana desain penggunaan multimedia komputer dalam proses pembelajaran di kelas, agar berbagai hal yang tidak dinginkan dapat dihindari.





[1] Abuddin Nata. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 49.

[2] Endang Setyo Winarni dan Sri Harmini, Matematika Untuk PGSD, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 89.

[3] Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan; Teori dan Praktik, edisi III, penerjemah; Marianto Samosir, (Jakarta: PT. Indeks, 2009), hlm. 22.


Deteksi Isu-Isu Krusial Pendidikan


Berbicara tentang pendidikan sama dengan kita berbicara tentang kebutuhan manusia yang paling natural. Kebutuhan manusia terhadap pendidikan semakin pentingseiringan dengan berkembangnya kebutuhan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Namun kenyataannya, kualitas pendidikan kita selalu tertinggal dari berbagai perkembangan kebutuhan-kebutuhan manusia yang semakin komprehensif. Sehingga, tidak jarang ditemukan alumnus-alumnus pendidikan yang pengangguran, atau bahkan sarjana-sarjana kelayapan yang kompetensinya jauh dari standar yang diinginkan dunia pekerjaan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, mari kita sejenak mengenali asal masalah tersebut. Karena untuk mencari solusi harus dimulai dengan pengenalan/ identifikasi masalah. Yuk mari kita analisa masalah pendidikan kita.
 Isu pertama adalah kekerasan dan kemiskinan masih rame. Indonesia telah merdeka lebih dari 60 tahun lamanya, tapi liputan-liputan kekerasan dan premanisme masih sering terjadi negeri ini. Bahkan pihak berwenang sendiri tidak punya nyali untuk menuntaskannya. Begitu juga dengan kemiskinan tampaknya berkontribusi bagi terjadinya peningkatan kasus-kasus tindak kekerasan. Seperti Pencurian, Pelacuran, dan lain sebagainya. Kemiskinan juga telah menyebabkan bakat emas yang dimiliki rakyat terkubur karena tidak sanggup memenuhi biaya pendidikan yang selangit. Karena, empati para praktisi pendidikan terhadap masyarakat miskin telah semakin rendah dan bahkan hampir hilang. Sehingga pendidikan yang bagus hanya diproyeksikan bagi mereka yang memiliki modal atau tabungan. Padahal, tidak sedikit para ilmuwan yang lahir dari keluarga miskin yang berasal dari rakyat pedesaan. Oleh karena itu, semestinya setiap personil pendidikan harus berbuat dengan hati yang senang dan ikhlas dalam menjalankan profesinya, sebelum ia menuntut berbagai haknya.
 Isu kedua  adalah keragaman dan Potensi perpecahan. Kita tidak dapat pungkiri bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika belum menyentuh sisi kehidupan kita. Persoalan etnis, organisasi, suku, dankeluarga masih saja memunculkan serangkaian konflik internal dalam dunia pendidikan khususnya. Seperti maraknya kasus nepotisme pejabat atau guru yang menjadikan kampus milik keluarga.Misalnya, penulis pernah dengar bahwa suatu konflik yang terjadi di dalam sebuah keluarga telah mendorong lahirnya suatu lembaga pendidikan yang baru. Yang kemudian lembaga pendidikan tersebut dijadikan lahan bisnis dan simbol ketenaran bagi pemiliknya. Sehingga pelayanannya sering bersifat tidak adil dan diskriminatif.
Isu ketiga adalah kegagalan pendidikan dalam menciptakan moralitas anak bangsa.  Pendidikan nasional kita dalam berbagai jenis dan jenjang, tampaknya “gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki budi pekerti yang baik. Harus diakui bahwa rendahnya moralitas sebahagian para pengelola negara, politikus, pengusaha, bahkan mahasiswa adalah merupakan produk dari sistem pendidikan nasional yang gagal menghantarkan outputnya dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai moralitas dalam kehidupannya.
 Salah satu aspek moral yang semakin terkikis di negara kita ini adalah sifat kejujuran. Padahal, sifat kejujuran adalah modal utama dalam kehidupan. Sebaliknya, perbuatan dusta adalah pangkal dari berbagai maksiat yang lain. Seperti; korupsi, penipuan, dan pencurian.
 Keberhasilan pendidikan kejujuran sangat ditentukan oleh dukungan dari seluruh personil pendidikan, keluarga dan masyarakat, disamping juga dibutuhkan suatu strategi khusus. Salah satu strategi pendidikan yang dapat dilakukan untuk mencegah anak dari perbuatan dusta dapat dilakukan dengan: 1) memberikan pemahaman yang baik kepada anak perihal urgensi sifat jujur dan bahaya dusta, 2) memberikan teladan, 3) menjalin hubungan yang terbuka dengan anak, 4) tidak memberikan hukuman yang berlebihan, dan 5) menyediakan kondisi sosial yang baik dan sarana yang dapat merangsang tumbuhnya sikap jujur anak, seperti membuat kotak kejujuran untuk tempat barang temuan dan membangun kantin-kantin kejujuran.
 Isu yang keempat adalah Kuantitas versus kualitas. Sejak Indonesia merdeka, kita telah memiliki tekad yang kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh. Namun sayangnya tekad ini diterjemahkan dengan mendirikan lembaga pendidikan sebanyak-banyaknya dan kurang mengoptimalkan pencapaian standar proses pendidikan dilembaga-lembaga pendidikan tersebut.
 Pembangunan lembaga pendidikan yang belum merata juga telah berimplikasi terhadap rendahnya kepercayaan masyarakat kepada suatu lembaga pendidikan. Bahkan ironisnya, sebahagian masyarakat telah mengklaim bahwa sebagaian lembaga pendidikan yang ada di daerah-daerah hanya justru melaksanakan proses pembodohan terhadap peserta didiknya. 

Penulis: Hamdan Husein Batubara

Cara Jitu Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah

BAGAIMANA IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH?
1. Integrasikan ke dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) pada setiap Mata pelajaran.
2. Pembiasaan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan. Artinya dengan menciptakan budaya sekolah yang berkarakter baik.
3. Integrasi ke dalam kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka, Olah Raga, Karya Tulis, dsb
4. Penerapan pembiasaan kehidupan keseharian di Rumah sama dengan di Satuan Pendidikan.


STRATEGI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
1. Dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan karakter yang telah dirumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, terutama mata pelajaran agama, kwarganegaraan, dan bahasa (baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah).
2. Dengan mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah.
3. Dengan mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan.
4. Dengan membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua peserta didik.

METODE IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KESEHARIAN DI SEKOLAH
1. Keteladanan
2. Kegiatan Spontan, saat guru mengetahui sikap/tingkah laku peserta didik yang kurang baik
3. Teguran atau nasehat.
4. Cerita / kisah teladan.
5. Pengkondisian lingkungan, penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai karakter yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib sekolah yang ditempelkan pada tempat yang strategis.
6. Kegiatan Rutin, berbaris masuk ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan membersihkan ruang kelas tempat belajar.

Sumber: Hamdan Husein Batubara
Mahasiswa UIN MMI Malang
Ahad, 26 Pebruari 12